Langsung ke konten utama

Tanamkan Patriotisme Keummatan Jangan Patriotisme Kelompok


Mengulas tulisan sebelumnya (disini) dari seseorang yang akhir-akhir ini sering kubaca tulisannya yang mengandung banyak motivasi, kaya ilmu, juga sering bermuatan menegur. Tapi saya suka. Meski ngomong Langsung-langsung begitu, meski kadang tersinggung sangat, meski pengen melakukan pembenaran, tetapi pada akhirnya berkata pada diri "itu benar kok. kenapa harus marah?". Nah, kali ini tentang Kajian yang katanya warning untuk dicegat lagi setelah kasus Ustadz Khalid Basalamah. ENtah kenapa, membaca tulisan itu membuat saya ingin menangis. Ya Rabb, mengapa negara ini makin memilukan? mengapa masyarakatnya semakin mudah tersulut emosi? mengapa karakter ramah-tamah semakin terkikis? kenapa katanya toleransi yang dibanggakan dari negara ini semakin menjadi cerita dongeng saja? dan mengapa ummat muslim di negara yang tadinya aman-aman saja dengan banyak perbedaan harus porak-poranda dan lebih mengedepankan identitas organisasi, atau kelompok?. Dimana ummat yang rahmatan lil 'alamin? dimana ummat yang katanya ibarat satu tubuh?.

Ada banyak hal yang mesti dewasa menyikapinya. Masalah perbedaan. Bukan sejak dulu dalam tubuh ummat islam sudah banyak yang berbeda dalam hal tertentu? bukannya kita sudah saling paham, bahwa silahkan saja berbeda mempertahankan pendapatnya yang penting punya dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. itu sudah menjadi urusan mereka kelak kepada Allah. Karena meski diisyaratkan kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah, namanya manusia diberi akal, akan selalu ada saja khilafiah. itu biasa dan terserah, asal.... berada dalam batas kewajaran. batas yang dimaksud adalah bahwa yang berbeda itu masih dipermaklumkan. Yang menjadi masalah juga adalah, kembali ke Al-Qur'an dan Sunnah, sama-sama mengkaji dan mencari titik temu perbedaan, namun sayangnya manusia masih banyak juga yang tetap mempertahankan ilmu sebelumnya. Tak mau merefresh ilmu. Apa yang menjadi pengetahuan kita hari ini, bisa jadi berubah atau bergesar di kemudian hari. itu karena adanya pengetahuan baru, penerimaan baru, dan kesadaran bahwa yang lalu masih kurang benar. Begitukan harusnya dalam menuntut ilmu?. Tidak eksklusive memegang ilmu yang lama bersemayam atau turun temurun, tetapi perlu mengkaji lagi, perlu merefresh kembali. Jangan-jangan ada yang menjadi pemahaman sebelumnya yang perlu diperbaiki. 

Masalah selanjutnya adalah, masalah Tabayyun. Makin berkembang media informasi, mestinya tabayyun itu lebih mudah dilakukan, namun sayangnya justru tabayyun makin sulit dilakukan. Saat menerima informasi secara mudah, juga mudah disebar kanan kiri, tanpa cek dan ricek apakah benar atau tidak. Yang bersinggungan dengan informasi pun menjadi kalap dan tersulut emosi. Sedikit disentil, kobaran api menjadi besar. Yang bahagia adalah yang berada di belakang memprovokasi.

Apakah seperti itu sekarang ummat islam? Dengan banyaknya ormas di negeri ini, kesetiaan terhadap ormas pun menjadi bumbu sedap untuk dicampuri adu domba. Kita lupa bahwa, ormas, organisasi, kelompok, atau apalah namanya semua hanyalah wazilah bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ormas hanya menjadi media bagi kita berdakwah, menuntut ilmu, dan juga menyebar ilmu. Yang dibesarkan bukanlah bendera organisasi, tetapi bendera islam. Tidak dengan bangga berteriak, saya dari NU, Muhammadiyah, WI, HTI, dsb... tetapi mestinya lebih bangga berucap "inilah kami ummat islam. Berbeda dalam pemikiran, namun tetap satu dalam aqidah Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah". Mungkin ini bisa menjadi koreksi besar untuk organisasi manapun. Apakah selama ini patriotisme kelompok sukses kita tanamkan, tetapi patriotisme keummatan lupa digalakkan? 

Saya warga Muhammadiyah, tetapi bagi saya pribadi mereka yang di bawah bendera HTI, WI, Salafi, Nu adalah saudara seiman. Kecuali mereka yang nyata melenceng dari Aqidah yang haq, seperti Syiah. Meski memiliki banyak perbedaan dalam hal tertentu, tetapi bagi saya pribadi, itu adalah dalih mereka sesuai dalil yang mereka punyai. Kelak, masing-masing mempertanggungjawabkan dalih yang digunakan. dan itu urusan individu dengan Rabb-nya. Dan saya pribadi juga malang melintang berkawan, bahkan pernah memasuki beberapa kajian dan ormas tersebut. Mungkin pernah meninggalkan karena sebab tertentu, tetapi bukan berarti mereka salah atau musuh, tetapi dengan alasan hidup adalah pilihan, kitalah yang memilah dan memilih mana dari sekian perbedaan itu yang akan diikuti. Masing-masing mereka (ormas) punya kelebihan masing-masing, justru akan menjadi kekayaan yang sempurna ketika setiap ormas ini bisa saling bersama, mengisi dimana mereka bisa jadi pengampu di suatu dimensi, dan yang lain menjadi pengampu di dimensi yang lainnya. 

Saya menghayalkan, negeri ini lebih damai dengan segala bendera berwarna-warni. ketika bergerak dan menemukan perbedaan, saling berdiskusi dan saling memperbaiki, dan jika mungkin menerima kebenaran, mengakui kekeliruan, dan membuang kesalahan. 
*Yaya Afifatunnisa*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap